FRAKTUR HUMERUS
1. Pengertian
a
Fraktur
Adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,
Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care
Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku
Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b
Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa
patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang
tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak
robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
c
Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya
struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :
1)
Fraktur Suprakondilar Humerus
2)
Fraktur Interkondiler Humerus
3)
Fraktur Batang Humerus
4)
Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan
mekanisme terjadinya fraktur :
1)
Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah
dalam posisi supinasi.
2)
Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam
posisi pronasi.
(Mansjoer, Arif, et al, 2000)
d
Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi
internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi
sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.
Keuntungan :
1)
Tercapainya kestabilan dan
perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat
penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2)
Aliran darah ke tulang yang
patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3)
Klien tidak akan tirah baring
lama.
4)
Kekakuan dan oedema dapat
dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1)
Fiksasi interna berarti suatu
anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2)
Kemungkinan untuk infeksi jauh
lebih besar.
3)
Osteoporosis bisa menyebabkan
terjadinya fraktur sekunder atau berulang.
2.
Anatomi Dan Fisiologi
a
Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk
ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling
luar disebut Periosteum dimana terdapat
pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut
benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks
sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid
dan sangat kuat yang disusun dalam unit
struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama
yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut
Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat
osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu.
Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat
pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah
inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme
keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian,
yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini
terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya
terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini
terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah
melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel
lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom
(FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu
osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah
tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang
dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini
diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler
yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein,
karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai
media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang
daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik
(kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400
ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan
Ignatavicius, Donna. D,1995).
b
Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar
dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang
terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang.
Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi
kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan
mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis
adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis
merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis.
Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan
penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black,
J.M, et al, 1993)
c
Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas),
korpus, dan ujung bawah.
1)
Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari
banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher
anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah
benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan
lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah
bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep.
Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
2)
Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih.
Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas
deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik
melintasi sebelah belakang, batang, dari
sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau
saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3)
Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk
bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam
berbentuk gelendong-benang tempat
persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi
dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat
epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
d
Fungsi Tulang
1)
Memberi kekuatan pada kerangka
tubuh.
2)
Tempat mlekatnya otot.
3)
Melindungi organ penting.
4)
Tempat pembuatan sel darah.
5)
Tempat penyimpanan garam
mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
3.
Etiologi
1)
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2)
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3)
Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 1993)
4.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito,
Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma
di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang
yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M,
et al, 1993)
a.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
fraktur
1)
Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)
Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius,
Donna D, 1995 )
b.
Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada
lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1)
Stadium Satu-Pembentukan
Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan
sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung
24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2)
Stadium Dua-Proliferasi
Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi
fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke
dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8
jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3)
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk
tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang
yang mati. Massa
sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau
bebat pada
permukaan
endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang )
menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.
4)
Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada
garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat
dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang
normal.
5)
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et
al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
c. Komplikasi fraktur
1)
Komplikasi Awal
a)
Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b)
Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang
terlalu kuat.
c)
Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d)
Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e)
Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f)
Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
2)
Komplikasi Dalam Waktu Lama
a)
Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a
penurunan supai darah ke tulang.
b)
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c)
Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et
al, 1993)
5.
Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.
Berdasarkan sifat fraktur.
1).
Faktur Tertutup (Closed), bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga
fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2).
Fraktur Terbuka
(Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
b.
Berdasarkan komplit atau
ketidakklomplitan fraktur.
1).
Fraktur Komplit, bila garis
patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang
seperti terlihat pada foto.
2).
Fraktru Inkomplit, bila garis
patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a)
Hair Line Fraktur (patah
retidak rambut)
b)
Buckle atau Torus Fraktur, bila
terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c)
Green Stick Fraktur, mengenai
satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c.
Berdasarkan bentuk garis patah
dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1).
Fraktur Transversal: fraktur
yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau
langsung.
2).
Fraktur Oblik: fraktur yang
arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat
trauma angulasijuga.
3).
Fraktur Spiral: fraktur yang
arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4).
Fraktur Kompresi: fraktur yang
terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan
lain.
5).
Fraktur Avulsi: fraktur yang
diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d.
Berdasarkan jumlah garis patah.
1)
Fraktur Komunitif: fraktur
dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2)
Fraktur Segmental: fraktur
dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3)
Fraktur Multiple: fraktur
dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e.
Berdasarkan pergeseran fragmen
tulang.
1).
Fraktur Undisplaced (tidak
bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum
nasih utuh.
2).
Fraktur Displaced (bergeser):
terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi
atas:
a)
Dislokai ad longitudinam cum
contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
b)
Dislokasi ad axim (pergeseran
yang membentuk sudut).
c)
Dislokasi ad latus (pergeseran
dimana kedua fragmen saling menjauh).
f.
Fraktur Kelelahan: fraktur
akibat tekanan yang berulang-ulang.
g.
Fraktur Patologis: fraktur yang
diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a.
Tingkat 0: fraktur biasa dengan
sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b.
Tingkat 1: fraktur dengan
abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c.
Tingkat 2: fraktur yang lebih
berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d.
Tingkat 3: cedera berat dengan
kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A.
Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D,
1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan
Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
6.
Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang
mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya.
Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik
terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.
a
Terhadap Klien
1)
Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang
terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan
tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama
kalsium dan zat besi
2)
Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari
fraktur, perubahan gaya
hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak
dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru
serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3)
Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat
karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga
perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya
sendiri seperti biasanya.
4)
Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan
keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena
rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b
Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota
keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien,
apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak
efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital
dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa
menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah
beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang
masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa
merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi
keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.
7. ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
a.
Pengumpulan Data
1)
Anamnesa
a)
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)
Provoking Incident: apakah ada
peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2)
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3)
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit
bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
(4)
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5)
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius,
Donna D, 1995)
c)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D,
1995).
e)
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1)
Pola Persepsi dan Tata Laksana
Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)
Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3)
Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4)
Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan
tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E,
1999).
(5)
Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6)
Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7)
Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8)
Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9)
Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2)
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a)
Gambaran Umum
Perlu
menyebutkan:
(1)
Keadaan umum: baik atau
buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)
Kesadaran penderita: apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b)
Kesakitan, keadaan penyakit:
akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c)
Tanda-tanda vital tidak normal
karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)
Secara sistemik dari kepala
sampai kelamin
(a)
Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
(b)
Kepala
Tidak ada
gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
(c)
Leher
Tidak ada
gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d)
Muka
Wajah terlihat
menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada
lesi, simetris, tak oedema.
(e)
Mata
Tidak ada
gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f)
Telinga
Tes bisik atau
weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g)
Hidung
Tidak ada
deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h)
Mulut dan Faring
Tak ada
pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i)
Thoraks
Tak ada
pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j)
Paru
(1)
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3)
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
(k)
Jantung
(1)
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)
Abdomen
(1)
Inspeksi
Bentuk datar,
simetris, tidak ada hernia.
(2)
Palpasi
Tugor baik,
tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3)
Perkusi
Suara thympani,
ada pantulan gelombang cairan.
(4)
Auskultasi
Peristaltik
usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)
Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1)
Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara
lain:
(a)
Cictriks (jaringan parut baik
yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)
Cape au lait spot (birth mark).
(c)
Fistulae.
(d)
Warna kemerahan atau kebiruan
(livide) atau hyperpigmentasi.
(e)
Benjolan, pembengkakan, atau
cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f)
Posisi dan bentuk dari
ekstrimitas (deformitas)
(g)
Posisi jalan (gait, waktu masuk
ke kamar periksa)
(2)
Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu
posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a)
Perubahan suhu disekitar trauma
(hangat) dan kelembaban kulit.
(b)
Apabila ada pembengkakan,
apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)
Nyeri tekan (tenderness),
krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa
status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
(3)
Move (pergeraka terutama
lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan
nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral)
atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3)
Pemeriksaan Diagnostik
a)
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan
dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA
dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1)
Bayangan jaringan lunak.
(2)
Tipis tebalnya korteks sebagai
akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3)
Trobukulasi ada tidaknya rare
fraction.
(4)
Sela sendi serta bentuknya
arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
(1)
Tomografi: menggambarkan tidak
satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi.
Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2)
Myelografi: menggambarkan
cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)
Arthrografi: menggambarkan
jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4)
Computed Tomografi-Scanning:
menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
b)
Pemeriksaan Laboratorium
(1)
Kalsium Serum dan Fosfor Serum
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2)
Alkalin Fosfat meningkat pada
kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)
Enzim otot seperti Kreatinin
Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c)
Pemeriksaan lain-lain
(1)
Pemeriksaan mikroorganisme
kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)
Biopsi tulang dan otot: pada
intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan
bila terjadi infeksi.
(3)
Elektromyografi: terdapat
kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4)
Arthroscopy: didapatkan
jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5)
Indium Imaging: pada
pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6)
MRI: menggambarkan semua
kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b.
Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa
untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi
dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan
masalah keperawatan yang timbul.
2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual
maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan
mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi,
menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung
jawabnya.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi
dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and
Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition,
W.B. Saunder Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan
dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta,
1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat
Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem
Kesehatan Nasional, Jakarta,
1991.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis,
Volume I EGC, Jakarta,
1994.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical
Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan,
EGC, Jakarta,
1994.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah,
Edisi 3 EGC, Jakarta,
1996.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta
Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1993.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis,
Gramedia, Jakarta
1997.
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah
Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan
Pasien, EGC, Jakarta,
1998.