Senin, 08 Agustus 2011

Makalah Hipospadia,Kelainan Jantung dan Labioskisis

HIPOSPADIA,KELAINAN JANTUNG & LABIOSKISIS


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir. Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang sering ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya pengelolaanya harus dilakukan oleh mereka yang betul-betul ahli supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.
Di Indonesia, walaupun belum ada data PJB yang akurat, namun masalah PJB jelas telah memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh baik dari dokter umum maupun spesialis. Data Polildinik Jantung Anak di Bagian Anak FKUI—RSCM1 melaporkan peningkatan jumlah pengunjung dari 241 menjadi 512 pada tahun 1970 dan 1973. Jumlah PJB (72%) lebih tinggi dari Penyakit Jantung didapat (28%), dan jumlah konsultasi berasal dari Dokter umum (47%) tidak jauh berbeda dari dokterspesialis (53%). Oleh karena itu, pengetahuan tentang penyakit jantung bawaan sangat diperlukan bagi mahasiswa keperawatan dalam menunjang standart kompetensi pendidikan perawat.
Labioskisis dan Labio-palato-gnatoskisis merupakan kelainan diduga terjadi akibat infeksi kronis yang diderita ibu pada kehamilan Trimester I. Bayi akan mengalami gangguan pertumbuhan karena sering menderita infeksi saluran pernafasan akibat aspirasi.

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah :
1) Mengetahui tentang definisi Hipospadia, Kelainan Jantung, dan Labioskisis.
2) Mengetahui tentang etiologi Hipospadia, Kelainan Jantung, dan Labioskisis.
3) Mengetahui tentang patofisiologis Hipospadia, Kelainan Jantung, dan Labioskisis.
4) Mengetahui tentang tanda dan gejala Hipospadia, Kelainan Jantung, dan Labioskisis.
5) Mengetahui tentang cara penanggulangan Hipospadia, Kelainan Jantung, dan Labioskisis.

1.2 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan Laporan Pendahuluan ini adalah :
1. Menambah dan memperluas pengetahuan tentang penyakit Hipospadia, Kelainan Jantung, serta Labioskisis bagi penulis dan pembaca.
2. Memberikan informasi tentang Hipospadia, Kelainan Jantung, serta Labioskisis bagi pembaca.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hipospadia

2.1.1 Definisi Hipospadia
Hipospadia adalah suatu keadaan abnormal dari perkembangan uretra anterior dimana meatus uretra eksterna terletak di bagian ventral dan letaknya lebih proksimal dari letak yang normal dan disertai adanya firosis pada bagian distal MUE yang menyebabkan bengkoknya penis (chordae).
Hipospadia merupakan salah satu kelainan bawaan (kongenital) pada anak-anak yang lumayan sering ditemukan. Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “dibawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang.
2.1.2 Etiologi
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh, antara lain :
1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormone.
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau bias juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan
suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
2. Genetika.
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3. Lingkungan.
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

Hipospadia sering disertai kelainan penyerta yang biasanya terjadi bersamaan pada penderita hipospadia. Kelainan yang sering menyertai hipospadia adalah :
1. Undescensus testikulorum (tidak turunnya testis ke skrotum).
2. Hidrokel.
3. Mikrophalus / mikropenis.
Ada beberapa tipe atau pengklasifikasian hipospadia menurut letak muara uretranya antara
lain :
1. Anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal.
2. Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan penoscrotal.
3. Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.

2.1.3 Patofisiologi

Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.
Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan nanti. Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18 bulan. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual.

2.1.4 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala Hipospadia antara lain :
1. Jika berkemih, anak harus duduk.
2. Pembukaan uretra di lokasi selain ujung penis
3. Penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan penis
4. Penis melengkung ke bawah
5. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah atau di dasar penis
6. Semprotan air seni yang keluar abnormal

2.1.5 Penanggulangan
Pengelolaan hipospadia harus ditangani oleh dokter yang benar-benar berkompeten agar hasilnya pun dapat maksimal. Untuk saat ini penanganan hipospadia adalah dengan cara operasi. Operasi ini bertujuan untuk merekonstruksi penis agar lurus dengan orifisium uretra pada tempat yang normal atau diusahakan untuk senormal mungkin. Operasi sebaiknya dilaksanakan pada saat usia anak yaitu enam bulan sampai usia prasekolah.
Hal ini dimaksudkan bahwa pada usia ini anak diharapkan belum sadar bahwa ia begitu “spesial”, dan berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dimana anak yang lain biasanya miksi (buang air seni) dengan berdiri sedangkan ia sendiri harus melakukannya dengan jongkok aga urin tidak “mbleber” ke mana-mana. Anak yang menderita hipospadia hendaknya jangan dulu dikhitan, hal ini berkaitan dengan tindakan operasi rekonstruksi yang akan mengambil kulit preputium penis untuk menutup lubang dari sulcus uretra yang tidak menyatu pada penderita hipospadia.
Waktu operasi yang optimal adalah saat anak berusia 3 sampai 18 bulan. Pada saat ini anak-anak akan mengalami amnesia dari prosedur operasi dan 70-80% kelainan dapat ditangani tanpa perlu dirawat.
Tahapan operasi rekonstruksi antara lain :
1. Meluruskan penis yaitu orifisium dan canalis uretra senormal mungkin. Hal ini dikarenakan pada penderita hipospadia biasanya terdapat suatu chorda yang merupakan jaringan fibrosa yang mengakibatkan penis penderita bengkok. Langkah selanjutnya adalah mobilisasi (memotong dan memindahkan) kulit preputium penis untuk menutup sulcus uretra.
2. Uretroplasty
Tahap kedua ini dilaksanakan apabila tidak terbentuk fossa naficularis pada glans penis.
Uretroplasty yaitu membuat fassa naficularis baru pada glans penis yang nantinya akan
dihubungkan dengan canalis uretra yang telah terbentuk sebelumnya melalui tahap pertama. Tidak kalah pentingnya pada penanganan penderita hipospadia adalah penanganan pascabedah dimana canalis uretra belum maksimal dapat digunakan untuk lewat urin karena biasanya dokter akan memasang sonde untuk memfiksasi canalis uretra yang dibentuknya. Urin untuk sementara dikeluaskan melalui sonde yang dimasukkan pada vesica urinaria (kandung kemih) melalui lubang lain yang dibuat olleh dokter bedah sekitar daerah di bawah umbilicus (pusar) untuk mencapai kandung kemih.

2.2 Kelainan Jantung


2.2.1 Definisi Kelainan Jantung
Kelainan jantung kongenital atau bawaan adalah kelainan jantung atau malformasi yang muncul saat kelahiran. Kebanyakan kelainan jantung kongenital meliputi malformasi struktur di dalam jantung maupun pembuluh darah besar, baik yang meninggalkan maupun yang bermuara pada jantung. Kelainan ini merupakan kelainan bawaan tersering pada anak, sekitar 8-10 dari 1.000 kelahiran hidup.
Kelainan ini bisa saja ringan sehingga tidak terdeteksi saat lahir. Namun pada anak tertentu, efek dari kelainan ini begitu berat sehingga diagnosis telah dapat ditegakkan bahkan sebelum lahir. Dengan kecanggihan teknologi kedokteran di bidang diagnosis dan terapi, banyak anak dengan kelainan jantung kongenital dapat ditolong dan sehat sampai dewasa.

2.2.2 Etiologi
Sebenarnya sulit sekali menentukan penyebab PJB secara tepat. Berdasarkan data kepustakaan faktor etiologi PJB berikut :
1. Faktor genetik (biasanya merupakan bagian dari sindroma tertentu).
2. Faktor lingkungan/faktor eksternal (obat, virus, radiasi) yang terdapat sebelum kehamilan 3 bulan. Hipoksia pada waktu persalinan dapat mengakibatkan tetap terbukanya ductus arteriosus pada bayi.
3. Interaksi dari faktor genetik dan faktor lingkungan.
4. Tranmisi genetik dominan misalnya sering ditemukan pada defek septum atrium dan kurang jelas pada pada defek septum ventrikel, stenosis pulmonalis dan tetralogi Fallot.
5. Influenza, lues, tuberkulosis dan toxoplasama disebut-sebut juga dapat menyebabkan kelainan jantung fetus.
6. Infeksi intrauterin yang langsung seperti setelah usaha menggugurkan bayi, dapat mengganggu embriogenesis jantung.
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi jantung merupakan serangkaian proses yang kompleks. Untuk keperluan pemahaman , proses yang rumit tersebut dapat disederhanakan menjadi empat tahapan, yaitu :
1. Tubing, yaitu tahapan ketika bakal jantung masih merupakan tabung sederhana
2. Looping, yakni suatu peristiwa kompleks berupa perputaran bagian-bagian bakal jantung dan arteri besar (aorta dan a. Pulmonalis)
3. Septasi, yakni proses pemisahan bagian-bagian jantung serta arteri besar dengan pembentukan berbagai ruang jantung
4. Migrasi, yakni pergeseran bagian-bagian jantung sebelum mencapai bentuk akhirnya. Perlu diingat bahwa keempat proses tersebut benar-benar merupakan proses yang terpisah, namun merupakan rangkaian proses yang saling tumpang tindih.
Sirkulasi darah pada janin dan bayi terdapat perbedaan, antara lain :
• Pada janin terdapat pirau intrakardiak (foramen ovale) dan pirau ekstrakardiak(duktus arteriosus Botalli, duktus venosus Arantii) yang efektif. Arah pirau adalah dari kanan ke kiri, yakni dari atrium kanan ke kiri melalui foramen ovale dan dari arteri pulmonalis menuju ke aorta melalui duktus arteriosus. Pada sirkulasi pascalahir pirau intra maupun ekstra kardiak tersebut tidak ada.
• Pada janin ventrikel kiri dan kanan bekerja serentak, sedang pada keadaan pasca lahir ventrikel kiri berkontraksi sedikit lebih awal dari ventrikel kanan.
• Pada janin ventrikel kanan memompa darah ke tempat dengan tahanan yang lebih tinggi, yakni tahanan sistemik, sedang ventrikel kiri melawan tahanan yang rendah yakni plasenta. Pada keadaan pasca lahir ventrikel kanan akan melawan tahanan paru, yang lebih rendah daripada tahanan sistemik yang dilawan ventrikel kiri.
• Pada janin darah yang dipompa oleh ventrikel kanan sebagian besar menuju ke aorta melalui duktus arteriosus, dan hanya sebagian kecil yang menuju ke paru. Pada keadaan pasca lahir darah dari ventrikel kanan seluruhnya ke paru.
• Pada janin paru memperoleh oksigen dari darah yang mengambilnya dari plasenta, pasca lahir paru memberi oksigen kepada darah.
• Pada janin plasenta merupakan tempat yang utama untuk pertukaran gas, makanan, dan ekskresi. Pada keadaan pascalahir organ-organ lain mengambil alih berbagai fungsi tersebut. Pada janin terjamin berjalannya sirkuit pertahanan rendah oleh karena terdapatnya plasenta. Pada keadaan pasca lahir hal ini tidak ada.

2.2.4 Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis kelainan jantung kongenital sangat bervariasi, tergantung macam kelainannya. Kelainan yang menyebabkan penurunan aliran darah ke paru atau percampuran darah berkadar tinggi zat asam dengan darah kotor dapat menimbulkan sianosis, ditandai oleh kebiruan di kulit, kuku jari, bibir, dan lidah. Ini karena tubuh tidak mendapatkan zat asam memadai akibat pengaliran darah kotor ke tubuh. Pernapasan si anak akan lebih cepat dan nafsu makan berkurang.
Daya toleransi gerak yang rendah mungkin ditemukan pada anak yang lebih tua. Kelainan yang dapat menyebabkan sianosis atau kebiruan adalah penyumbatan katup pulmonal (antara bilik jantung kanan dan pembuluh darah paru) yang mengurangi aliran darah ke paru, tertutupnya katup pulmonal (pada muara pembuluh darah paru) yang menghambat aliran darah dari bilik jantung kanan ke paru, tetralogi fallot (kelainan yang ditandai oleh bocornya sekat bilik jantung, pembesaran bilik jantung kanan, penyempitan katup pulmonal dan transposisi aorta), serta tertutupnya katup trikuspidal (terletak antara serambi dan bilik jantung kanan) yang menghambat aliran darah dari serambi ke bilik jantung kanan.
Selain itu, gejala kebiruan juga bisa muncul jika terjadi transposisi pembuluh darah besar, gangguan pertumbuhan ruangan, katup dan pembuluh darah yang berhubungan dengan sisi jantung kiri, serta kelainan akibat salah bermuaranya keempat vena paru yang seharusnya ke serambi jantung kiri.
Beberapa jenis kelainan jantung kongenital juga dapat menyebabkan gagal jantung. Kelainan ini menyebabkan terjadinya aliran darah dari sisi jantung kiri ke sisi jantung kanan yang secara progresif meningkatkan beban jantung.
Gejala dari gagal jantung berupa napas cepat, sulit makan dan menyusu, berat badan rendah, infeksi pernapasan berulang, dan toleransi gerak badan yang rendah. Termasuk dalam kelainan ini adalah bocornya sekat serambi atau bilik jantung, menetapnya saluran penghubung antara aorta dan pembuluh darah paru yang seharusnya tertutup setelah lahir, gangguan pertumbuhan ruangan, katup dan pembuluh darah yang berhubungan dengan sisi jantung kiri, bocornya sekat antara serambi dan bilik jantung serta kelainan katup jantung, gagalnya pemisahan pembuluh darah besar jantung, serta terputusnya segmen aorta. Penyempitan katup jantung dan pembuluh darah besar kadang kala hanya menimbulkan gejala ringan. Gejala gagal jantung baru terlihat jika terjadi peningkatan beban jantung.

2.2.5 Penanggulangan
Adanya kelainan jantung kongenital pada anak sudah patut dicurigai jika terdapat satu atau beberapa gejala seperti di atas, gangguan pertumbuhan, serta suara bising jantung. Dokter umumnya memeriksa dengan elektrokardiogram (EKG) yang merekam irama jantung, ekokardiogram untuk mengetahui keadaan sekat jantung atau fungsi seluruh katup jantung, foto rontgen dada untuk mengevaluasi ukuran jantung dan aliran darah ke paru, serta pengukuran kadar zat asam dalam darah lewat sensor di ujung jari.
Jika ragu, dokter dapat memeriksa sadap jantung (kateterisasi) sehingga dapat diketahui tekanan masing-masing ruangan jantung serta adanya percampuran darah antara kedua sisi jantung.
Penanganan kelainan jantung kongenital dapat dengan obat-obatan, koreksi kelainan jantung dengan bantuan kateterisasi atau pembedahan. Umumnya obat-obatan itu untuk memperbaiki fungsi jantung, mengurangi kelebihan cairan di tubuh, mempertahankan keterbukaan saluran penghubung antara aorta dan pembuluh darah paru, menurunkan konstriksi pembuluh darah sehingga mempermudah aliran darah ke tubuh, serta memperkuat kontraksi jantung untuk memompa lebih banyak darah. Jika penanganan dengan obat-obatan tidak efektif, maka pada jenis kelainan jantung tertentu koreksi jantung dengan bantuan kateterisasi bisa dicoba.
Pembedahan jantung umumnya diperlukan jika kelainan jantung lebih berat dan upaya terapi lainnya tidak efektif. Upaya pembedahan dapat bersifat paliatif dengan tujuan mengurangi gejala dan mengoreksi kelainan yang ada. Prospek pemulihan kembali sangat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta fungsi otot jantung yang tersisa, kondisi anak sebelum pembedahan, fasilitas medis, dan tenaga ahli yang ada.
Kelainan jantung kongenital tidak dapat diprediksi. Yang dapat dilakukan adalah menghindari konsumsi alkohol, minum obat-obatan, serta menghindari infeksi dan toksin lingkungan semasa kehamilan.
Selain itu, kalau dulu kelainan jantung kongenital dianggap sebagai penyakit tanpa harapan bagi anak, kini dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran banyak anak dengan kelainan jantung kongenital telah mendapatkan penanganan yang memungkinkan mereka untuk terus hidup, sehat, aktif dan produktif.

2.3 Labioskisis



2.3.1 Definisi Labioskisis
Labio skisis merupakan kongenital yang berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah (Ngastiah, 2005 : 167). Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik. (Wong, Donna L. 2003)

2.3.2 Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit ini tidak sepenuhnya diketahui. Terdapat beberapa teori tentang penyebabnya, antara lain :
1. Faktor herediter
2. Kegagalan fase embrio yang penyebabnya belum diketahui
3. Akibat gagalnya prosessus maksilaris dan prosessus medialis menyatu
4. Dapat dikaitkan abnormal kromosom, mutasi gen dan teratogen .
5. Beberapa obat (korison, anti konsulfan, klorsiklizin).
6. Mutasi genetic atau teratogen.

2.3.3 Patofisiologi
1. Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio pada trimester I.
2. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal medial dan maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
3. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
4. penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan.

2.3.4 Tanda dan Gejala
1. Deformitas pada bibir
2. Kesukaran dalam menghisap/makan
3. Kelainan susunan archumdentis.
4. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
5. Gangguan komunikasi verbal
6. Regurgitasi makanan.
7. Pada Labioskisis
a. Distorsi pada hidung
b. Tampak sebagian atau keduanya
c. Adanya celah pada bibir
• Gejala klinis dapat ditelusuri melalui riwayat keluarga yang menderita clubfoot atau kelainan neuromuskuler, dan dengan melakukan pemeriksaan secara keseluruhan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas.
• Pemeriksaan dilakukan dengan posisi prone, dengan bagian plantar yang terlihat, dan supine untuk mengevaluasi rotasi internal dan varus. Jika anak dapat berdiri , pastikan kaki pada posisi plantigrade, dan ketika tumit sedang menumpu, apakah pada posisi varus, valgus atau netral.
• Deformitas serupa terlihat pada myelomeningocele and arthrogryposis. Oleh sebab itu agar selalu memeriksa gejala-gejala yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tersebut. Ankle equinus dan kaki supinasi (varus) dan adduksi (normalnya kaki bayi dapat dorso fleksi dan eversi, sehingga kaki dapat menyentuh bagian anterior dari tibia). Dorso fleksi melebihi 90° tidak memungkinkan.
2.3.4 Penanggulangan
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan bibir sumbing adalah tindakan bedah efektif yang melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya. Adanya kemajuan teknik bedah, orbodantis,dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir tindakan koreksi kosmetik dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung dari berat ringan yang ada, maka tindakan bedah maupun ortidentik dilakukan secara bertahap.
Biasanya penutupan celah bibir melalui pembedahan dilakukan bila bayi tersebut telah berumur 1-2 bulan. Setelah memperlihatkan penambahan berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi induk, saluran nafas atau sistemis.
Perbedaan asal ini dapat diperbaiki kembali pada usia 4-5 tahun. Pada kebanyakan kasus, pembedahan pada hidung hendaknya ditunda hingga mencapi usia pubertas.
Karena celah-celah pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk danderajat cerat yang cukup besar, maka pada saat pembedahan, perbaikan harus disesuaikan bagi masing-masing penderita.
Waktu optimal untuk melakukan pembedahan langit-langit bervariasi dari 6 bulan – 5 tahun. Jika perbaikan pembedahan tertunda hingga berumur 3 tahun, maka sebuah balon bicara dapat dilekatkan pada bagian belakang geligi maksila sehingga kontraksi otot-otot faring dan velfaring dapat menyebabkan jaringan-jaringan bersentuhan dengan balon tadi untuk menghasilkan penutup nasoporing.

2. Pentalaksanaan Keperawatan
a. Perawatan Pra-Operasi:
1) Fasilitas penyesuaian yang positif dari orangtua terhadap bayi.
a) Bantu orangtua dalam mengatasi reaksi berduka
b) Dorong orangtua untuk mengekspresikan perasaannya.
c) Diskusikan tentang pembedahan
d) Berikan informasi yang membangkitkan harapan dan perasaan yang positif terhadap bayi.
e) Tunjukkan sikap penerimaan terhadap bayi.
2) Berikan dan kuatkan informasi pada orangtua tentang prognosis dan pengobatan bayi.
a) Tahap-tahap intervensi bedah
b) Teknik pemberian makan
c) Penyebab devitasi
3) Tingkatkan dan pertahankan asupan dan nutrisi yang adequate.
a) Fasilitasi menyusui dengan ASI atau susu formula dengan botol atau dot yang cocok.Monitor atau mengobservasi kemampuan menelan dan menghisap.
b) Tempatkan bayi pada posisi yang tegak dan arahkan aliran susu ke dinding mulut.
c) Arahkan cairan ke sebalah dalam gusi di dekat lidah.
d) Sendawkan bayi dengan sering selama pemberian makan
e) Kaji respon bayi terhadap pemberian susu.
f) Akhiri pemberian susu dengan air.
4) Tingkatkan dan pertahankan kepatenan jalan nafas
a) Pantau status pernafasan
b) Posisikan bayi miring kekanan dengan sedikit ditinggikan
c) Letakkan selalu alat penghisap di dekat bayi

b. Perawatan Pasca-Operasi
1) Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adequate
a) Berikan makan cair selama 3 minggu mempergunakan alat penetes atau sendok.
b) Lanjutkan dengan makanan formula sesuai toleransi.
c) Lanjutkan dengan diet lunak
d) Sendawakan bayi selama pemberian makanan.
2) Tingkatkan penyembuhan dan pertahankan integritas daerah insisi anak.
a) Bersihkan garis sutura dengan hati-hati
b) Oleskan salep antibiotik pada garis sutura (Keiloskisis)
c) Bilas mulut dengan air sebelum dan sesudah pemberian makan.
d) Hindari memasukkan obyek ke dalam mulut anak sesudah pemberian makan untuk mencegah terjadinya aspirasi.
e) Pantau tanda-tanda infeksi pada tempat operasi dan secara sistemik.
f) Pantau tingkat nyeri pada bayi dan perlunya obat pereda nyeri.
g) Perhatikan pendarahan, cdema, drainage.
h) Monitor keutuhan jaringan kulit
i) Perhatikan posisi jahitan, hindari jangan kontak dengan alat-alat tidak steril, missal alat tensi
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hipospadia adalah suatu keadaan abnormal dari perkembangan uretra anterior dimana meatus uretra eksterna terletak di bagian ventral dan letaknya lebih proksimal dari letak yang normal dan disertai adanya firosis pada bagian distal MUE yang menyebabkan bengkoknya penis (chordae).
Kelainan jantung kongenital atau bawaan adalah kelainan jantung atau malformasi yang muncul saat kelahiran. Kebanyakan kelainan jantung kongenital meliputi malformasi struktur di dalam jantung maupun pembuluh darah besar, baik yang meninggalkan maupun yang bermuara pada jantung. Kelainan ini merupakan kelainan bawaan tersering pada anak, sekitar 8-10 dari 1.000 kelahiran hidup.
Labio skisis merupakan kongenital yang berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah (Ngastiah, 2005 : 167). Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik. (Wong, Donna L. 2003)

3.2 Saran
Kami berharap semoga makalah ini dibaca baik oleh mahasiswa atau siapa pun yang membutuhkan informasi tentang tanda/gejala, dan penanggulangan penyyaki yang berkenaan di atas. Sehingga dapat dicegah sedini mungkin dan diatasi dengan benar.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


1. www.klinikindonesia.com
2. http://medicastore.com
3. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:ngXmPJ81jdAJ:bedahumum.wordpress.com/2009/03/06/repair-hipospadia/+hipospadia&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a

4. Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. pp: 110 – 16.

5. S. Silbernagl, F. Lang. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp: 176-249.

6. Sumber : Betz, Cecily,. 2002. Keperawatan Pedriatik. Jakarta ; EEC